Para fotografer kawakan biasanya telah menguasai mekanika sebuah kamera sebelum berharap dapat mengambil gambar menawan. Kini, berkat maraknya aplikasi kamera di telepon seluler pintar kita, semua orang bisa menjadi fotografer. Pasalnya, kualitas gambar yang dihasilkan ponsel pintar telah menyaingi kamera digital.
Gelombang fotografi baru ini memicu hasrat yang menggelora untuk mengabadikan hal-hal luar biasa, sampai yang biasa-biasa saja. Kita giat memotret rutinitas sehari-hari, dari menu sarapan, kucing piaraan—hingga menu sarapan si kucing. Lalu, bukannya menata foto-foto itu di album, kita malah memamerkan, menge-like, dan mengomentari foto-foto itu bersama teman-teman dan orang-orang asing dari seluruh dunia.
Para jurnalis foto pun tergoda untuk bereksperimen dengan telepon seluler karena wujudnya yang mungil mempermudah dalam menangkap momen-momen tidak terduga. Internet memungkinkan mereka mengabaikan ranah media tradisional untuk bertindak sebagai penerbit pribadi dan memperoleh banyak penikmat melalui media sosial semacam Instagram.
Sebuah foto yang diambil di New York dapat diunggah dan memperoleh tanggapan dari seseorang di Lagos hanya dalam hitungan detik.
Dengan banyaknya foto di Internet setiap hari, tidak ada satu gambar pun yang dianggap istimewa untuk jangka waktu lama. Foto karya Nick Ut, yang menggambarkan Kim Phuc, bocah sembilan tahun yang berlari telanjang bulat untuk menghindari ledakan bom, masih jelas dalam ingatan kita puluhan tahun setelah Perang Vietnam berakhir.
Foto karya Eddie Adam tentang seorang jenderal Vietnam Selatan yang tengah mengeksekusi seorang penyusup Vietcong berhasil mengubah cara pandang publik mengenai perang dan memengaruhi alur sejarah. Tetapi, minimnya gambar yang patut diingat saat ini tidak disebabkan oleh kecilnya jumlah foto yang bagus. Justru karena ada terlalu banyak foto bagus.
Kemudahan menggunakan kamera mengubah cara pandang kita terhadap peristiwa-peristiwa dramatis. Di mana-mana ada kamera. Dalam kasus pengeboman Boston Marathon, kamera memberikan petunjuk kepada polisi tentang sang pelaku.
Saat demonstrasi besar-besaran berlangsung di Lapangan Tahrir atau tornado memorakporandakan sebuah kota di Oklahoma, justru orang awam, bukan jurnalis foto, yang pertama kali memberikan kabar bergambar. Kualitasnya memang masih bermasalah, tetapi yang penting adalah relevansi dan kecepatannya.
Seiring dengan penguasaan massa terhadap fotografi dan jurnalisme warga yang telah diakui sebagai sumber berita, standar profesional turut bergeser. Sebelum kejayaan era citra digital, kebanyakan orang menganggap foto sebagai gambaran realitas yang akurat. Saat ini, foto dapat diubah dengan cara yang sulit ditangkap mata telanjang. Jurnalis foto dilatih untuk secara akurat menyampaikan apa yang mereka lihat.
from :
Devvout N Degassu™
Gelombang fotografi baru ini memicu hasrat yang menggelora untuk mengabadikan hal-hal luar biasa, sampai yang biasa-biasa saja. Kita giat memotret rutinitas sehari-hari, dari menu sarapan, kucing piaraan—hingga menu sarapan si kucing. Lalu, bukannya menata foto-foto itu di album, kita malah memamerkan, menge-like, dan mengomentari foto-foto itu bersama teman-teman dan orang-orang asing dari seluruh dunia.
Para jurnalis foto pun tergoda untuk bereksperimen dengan telepon seluler karena wujudnya yang mungil mempermudah dalam menangkap momen-momen tidak terduga. Internet memungkinkan mereka mengabaikan ranah media tradisional untuk bertindak sebagai penerbit pribadi dan memperoleh banyak penikmat melalui media sosial semacam Instagram.
Sebuah foto yang diambil di New York dapat diunggah dan memperoleh tanggapan dari seseorang di Lagos hanya dalam hitungan detik.
Dengan banyaknya foto di Internet setiap hari, tidak ada satu gambar pun yang dianggap istimewa untuk jangka waktu lama. Foto karya Nick Ut, yang menggambarkan Kim Phuc, bocah sembilan tahun yang berlari telanjang bulat untuk menghindari ledakan bom, masih jelas dalam ingatan kita puluhan tahun setelah Perang Vietnam berakhir.
Foto karya Eddie Adam tentang seorang jenderal Vietnam Selatan yang tengah mengeksekusi seorang penyusup Vietcong berhasil mengubah cara pandang publik mengenai perang dan memengaruhi alur sejarah. Tetapi, minimnya gambar yang patut diingat saat ini tidak disebabkan oleh kecilnya jumlah foto yang bagus. Justru karena ada terlalu banyak foto bagus.
Kemudahan menggunakan kamera mengubah cara pandang kita terhadap peristiwa-peristiwa dramatis. Di mana-mana ada kamera. Dalam kasus pengeboman Boston Marathon, kamera memberikan petunjuk kepada polisi tentang sang pelaku.
Saat demonstrasi besar-besaran berlangsung di Lapangan Tahrir atau tornado memorakporandakan sebuah kota di Oklahoma, justru orang awam, bukan jurnalis foto, yang pertama kali memberikan kabar bergambar. Kualitasnya memang masih bermasalah, tetapi yang penting adalah relevansi dan kecepatannya.
Seiring dengan penguasaan massa terhadap fotografi dan jurnalisme warga yang telah diakui sebagai sumber berita, standar profesional turut bergeser. Sebelum kejayaan era citra digital, kebanyakan orang menganggap foto sebagai gambaran realitas yang akurat. Saat ini, foto dapat diubah dengan cara yang sulit ditangkap mata telanjang. Jurnalis foto dilatih untuk secara akurat menyampaikan apa yang mereka lihat.
from :
Devvout N Degassu™
Tidak ada komentar:
Posting Komentar